Bagi orang-orang yang berkompeten terhadap
bidang pendidikan akan menyadari bahwa dunia pendidikan kita sampai saat ini
masih mengalami “sakit”. Dunia pendidikan yang “sakit” ini disebabkan karena
pendidikan yang seharusnya membuat manusia menjadi manusia, tetapi dalam
kenyataannya seringkali tidak begitu. Seringkali pendidikan tidak memanusiakan
manusia. Kepribadian manusia cenderung direduksi oleh sistem pendidikan yang
ada.
Masalah pertama adalah bahwa pendidikan,
khususnya di Indonesia, menghasilkan “manusia robot”. Kami katakan demikian
karena pendidikan yang diberikan ternyata berat sebelah, dengan kata lain tidak
seimbang. Pendidikan ternyata mengorbankan keutuhan, kurang seimbang antara
belajar yang berpikir (kognitif) dan perilaku belajar yang merasa (afektif).
Jadi unsur integrasi cenderung semakin hilang, yang terjadi adalah
disintegrasi. Padahal belajar tidak hanya berfikir. Sebab ketika orang sedang
belajar, maka orang yang sedang belajar tersebut melakukan berbagai macam
kegiatan, seperti mengamati, membandingkan, meragukan, menyukai, semangat dan
sebagainya. Hal yang sering disinyalir ialah pendidikan seringkali dipraktekkan
sebagai sederetan instruksi dari guru kepada murid. Apalagi dengan istilah yang
sekarang sering digembar-gemborkan sebagai “pendidikan yang menciptakan manusia
siap pakai. Dan “siap pakai” di sini berarti menghasilkan tenaga-tenaga yang
dibutuhkan dalam pengembangan dan persaingan bidang industri dan teknologi.
Memperhatikan secara kritis hal tersebut, akan nampak bahwa dalam hal ini
manusia dipandang sama seperti bahan atau komponen pendukung industri. Itu
berarti, lembaga pendidikan diharapkan mampu menjadi lembaga produksi sebagai
penghasil bahan atau komponen dengan kualitas tertentu yang dituntut pasar.
Kenyataan ini nampaknya justru disambut dengan antusias oleh banyak lembaga
pendidikan.
Masalah kedua adalah sistem pendidikan
yang top-down (dari atas ke bawah) atau kalau menggunakan istilah Paulo Freire
(seorang tokoh pendidik dari Amerika Latin) adalah pendidikan gaya bank. Sistem
pendidikan ini sangat tidak membebaskan karena para peserta didik (murid)
dianggap manusia-manusia yang tidak tahu apa-apa. Guru sebagai pemberi
mengarahkan kepada murid-murid untuk menghafal secara mekanis apa isi pelajaran
yang diceritakan. Guru sebagai pengisi dan murid sebagai yang diisi. Otak murid
dipandang sebagai safe deposit box, dimana pengetahuan dari guru ditransfer
kedalam otak murid dan bila sewaktu-waktu diperlukan, pengetahuan tersebut
tinggal diambil saja. Murid hanya menampung apa saja yang disampaikan guru.
Jadi hubungannya adalah guru sebagai
subyek dan murid sebagai obyek. Model pendidikan ini tidak membebaskan karena
sangat menindas para murid. Freire mengatakan bahwa dalam pendidikan gaya bank
pengetahuan merupakan sebuah anugerah yang dihibahkan oleh mereka yang
menganggap dirinya berpengetahuan kepada mereka yang dianggap tidak mempunyai
pengetahuan apa-apa.
Yang ketiga, dari model pendidikan yang
demikian maka manusia yang dihasilkan pendidikan ini hanya siap untuk memenuhi
kebutuhan zaman dan bukannya bersikap kritis terhadap zamannya. Manusia sebagai
objek (yang adalah wujud dari dehumanisasi) merupakan fenomena yang justru
bertolak belakang dengan visi humanisasi, menyebabkan manusia tercerabut dari
akar-akar budayanya (seperti di dunia Timur/Asia). Bukankah kita telah
sama-sama melihat bagaimana kaum muda zaman ini begitu gandrung dengan hal-hal
yang berbau Barat? Oleh karena itu strategi pendidikan di Indonesia harus
terlebur dalam “strategi kebudayaan Asia”, sebab Asia kini telah berkembang
sebagai salah satu kawasan penentu yang strategis dalam bidang ekonomi, sosial,
budaya bahkan politik internasional. Bukan bermaksud anti-Barat kalau hal ini
penulis kemukakan. Melainkan justru hendak mengajak kita semua untuk melihat
kenyataan ini sebagai sebuah tantangan bagi dunia pendidikan kita. Mampukah
kita menjadikan lembaga pendidikan sebagai sarana interaksi kultural untuk
membentuk manusia yang sadar akan tradisi dan kebudayaan serta keberadaan masyarakatnya
sekaligus juga mampu menerima dan menghargai keberadaan tradisi, budaya dan
situasi masyarakat lain? Dalam hal ini, makna pendidikan menurut Ki Hajar
Dewantara menjadi sangat relevan untuk direnungkan.
Komentar
Posting Komentar