Secara umum, konsep bimbingan dan
konseling telah lama dikenal manusia melalui sejarah. Sejarah tentang
pengembangan potensi individu dapat ditelusuri dari masyarakat yunani kono.
Mereka menekankan upaya-upaya untuk mengembangkan dan menguatkan individu
melalui pendidikan. Plato dipandang sebagan koselor Yunani Kuno karena dia
telah menaruh perhatian besar terhadap masalah-masalah pemahaman psikologis
individu seperti menyangkut aspek isu-isu moral, pendidikan, hubungan dalam
masyarakat dan teologis.
Sampai awal abad ke-20 belum ada
konselor disekolah. Pada saat itu pekerjaan-pekerjaan konselor masih ditangani
oleh para guru.
Gerakan bimbingan disekolah mulai
berkembang sebagai dampak dari revolusi industri dan keragaman latar belakang
para siswa yang masuk kesekolah-sekolah negeri. Tahun 1898 Jesse B. Davis,
seorang konselor di Detroit mulai memberikan layanan konseling pendidikan dan
pekerjaan di SMA. Pada tahun 1907 dia memasukkan program bimbingan di sekolah
tersebut.
Upaya pengembangan potensi diri
individu telah berkembang sejak Yunani Kuno, yang di pelopori oleh Plato dan
Aristoteles. Perkembangan gerakan bimbingan dan konseling di Amerika bersifat buttom-up, yaitu dari pihak perorangan
atau swasta kemudian menjadi program pemerintah. Sedangkan di Indonesia,
perkembangan gerakan bimbingan itu bersifat top-down,
yaitu dimulai oleh pihak pemeritah, melalui berbagai kebijakan,
perundamg-undangan, atau program-program eksperimentasi, kemudian program
tersebut dikembangkan oleh lembaga-lembaga swasta atau perorangan.
Tenaga pembimbing atau konselor di
Amerika sudah mencapai standarisasi professional yang mantap. Sedangkan di
Indonesia masih berada dalam proses pengkajian, validasi dan pemantapan dalam
berbagai aspeknya.
Secara organisatoris atau yuridis
formal, profesi bimbingan dan konseling menunjukkan kondisi yang semakin
mantap, namun dalam tataran implementasi masih mengalami kelemahan dalam
berbagai aspeknya, seperti menyangkut menajemen sumber daya ( kualitas pribadi
dan kemampuan professional), penempatan guru-guru mata pelajaran sebagai guru
pembimbing, pemberian tugas yang mismatch
terhadap guru pembimbing, dan sarana-prasarana.
Komentar
Posting Komentar